Rabu, 12 Desember 2012

KONFLIK ORGANISASI


KONFLIK ORGANISASI

Disadari ataupun tidak bahwa lembaga yang menangai pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana dianggap sebagai Institusi kelas bawah. Jika dibandingkan dengan OPD lain di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini bisa dikaji dari segi  penempatan personal, pemberian anggaran, pasilitasi, sarana dan prasarana. Namun hal ini kadang tidak akan pernah disadari ataupun dirasakan oleh pemegang kebijakan. Bahkan BPMPKB boleh dibilang hanya dijadikan alat/labolatorium percobaan dan batu loncatan bagi personal yang ditempatkan di OPD PMPKB. Persepsi seperti itu mungkin ada benarnya. Sehingga aparat yang ada di dalam kurang termotivasi untuk mengembangkan diri untuk membuat inovasi, kreasi ataupun berimajinasi untuk membuat penataan secara konstruktif dan pundamental.
Dari fakta tersebut dicoba untuk diamati secara cermat. Apakah benar anggapan dasar seperti itu. Tentu menarik untuk dikaji dan diteliti secara mendalam. Tapi penulis berpandangan lain justru ada kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan tersendiri selama di BPMPKB. Waaupun pertama masuk ke BPMPKB terasa gersang dan tidak ada sambutan hangat dari aparat yang ada di lingkungan BPMPKB.  Wajar karena banyak orang senior yang ada di dalam BPMPKB tidak mendapatkan kepercayaan menjadi pemegang tapuk pimpinan tertinggi. Padahal setiap orang pasti mempunyai harapan untuk menjadi profesional di bidangnya. Itulah suatu pengkondisian yang kadang tidak disadari oleh sistem kepegawaian. Bisa dibayangkan orang yang mau pensiun beberapa bulan lagi, harus keluar dari BPMPKB dari posisi orang pertama jadi staf ahli. Sedangkan penggantinya tidak dari orang dalam yang senior malah didatangkan dari luar OPD KB. Konflik itu mau tidak mau harus dinetralisir jangan sampai meluas. Namun orang  yang datang dari luar OPD KB yang menjelang pensiun tidak dijadikan pemegang kebijakan tertinggi malah hanya ditempatkan jadi salah satu bidang. Belum lagi di dalamnya sudah terjadi silang pemahaman dan silang pendapat diakibatkan ketidak puasan dalam penempatan pekerjaan. Bahkan posisi eselon III/a dijabat oleh pangkatnya dibawah kepala bidang dengan eselon III/b.
Pemulihan kebersamaan dan sinergitas agak terganggu dan memerlukan waktu yang sangat lama. Sehingga bekerja itu seperti api dalam sekam. Seolah-olah tidak ada gejolak. Tapi di dalam-nya penuh dengan berbagai kekecewaan. Kekecewaan demi kekecewaan berimplikasi pada instabilitas dan tumbuh sikap apatis dan apriori dalam menumbuhkan prestasi, dedeikasi serta loyalitas. Walapun tidak ada protes yang terbuka tapi dalam setiap kebijakan agak ditanggapi secara dingin, tidak responsif dengan gerak cepat. Sehingga jalannya organisasi menjadi terseok-seok. Jalannya harus cepat dengan berbagai program. Tapi roda giginya pada tumpul dan copong.
Anehnya setiap ada kekosongan tidak diisi  orang dalam. Malahan Baperjakat menempatkan orang dari luar. Ruh organisasi seperti ini sakit. Kadang-kadang bertanya dalam diri siapa yang bermain dan memainkan kondisi seperti itu. Bahkan ditemukan ada upaya-upaya mengeluarkan orang-orang senior ke institusi lain. Namun dari kondisi seperti itu ada hikmah dan kegembiraan tersendiri untuk dijadikan pelajaran yang berharga. Bahwa bekerja itu tidak cukup dengan prestasi dan prestise. Tapi yang harus dikembangkan adalah mengkolaborasikan antara Hukuman, Akhalaq dan Kecintaan.
Kebahagiaan yang dirasakan ketika OPD di luar BPMPKB mengincar pegawai yang dianggap punya prestasi, punya dedikasi dan punya loyalitas terhadap progarm PMPKB dipromosikan di OPD yang ada di luar BPMPKB. Walaupun dicomot begitu saja oleh Baperjakat tanpa dikonsultasikan terlebih dahulu kemana akan ditempatkan, dan siapa yang akan menggantikan posisi yang ditinggalkan tersebut. Namun sebaiknya hak prerogratif pemegang kebijakan dan kewenangan dari Baperjakat dikonsultasikan dan didengar masukannya dari OPD KB. Alangkah lebih arifnya bila segala sesuatu dikonsultasikan dan diminta pendapatnya untuk penggati yang memenuhi syarat dari dalam untuk menduduki posisi yang kosong. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik internal organisasi.
Sebagai bahan kajian mengapa BPMPKB dianggap sebagai labolatorium. Maka akan diurai secara cermat satu persatu hal yang mendasari opini tersebut sebagai berikut:
  1. PLH Kepala Bagian TU yang pangkatnya III/d dua tinggat di bawah Kepala Bidang KB dan KB malah di definitifkan menjadi Kepala Sekretariat dan setelah bisa mengikuti diklat PIM III dan naik pangkatnya jadi IV/a di incar dan di pindah dan dipromosikan ke unit kerja lain.
  2. Salah seorang Kepala Sub Bidang dari OPD luar KB diangkat jadi Kepala Bidang PP, setelah bisa mengikuti diklat PIM III di incar dan dipindahkan ke OPD lain di luar KB.
  3. Pegawai honorer untuk bisa diangkat jadi PNS ditempatkan sebagai PLKB. Setelah diangkat jadi PNS dan mengikuti kuliah di salah satu perguruan tinggi di incar dan dipindahkan ke OPD lain di luar KB.
Sebaiknya untuk meningkatkan kinerja dan keberhasilan BPMPKB jangan hanya dijadikan alat transit untuk menaikkan seseorang pada jabatan berikutnya tapi harus diberikesempatan untuk membuktikan kinerjanya terlebih dahulu sehingga BPMPKB menjadi sehat dan normal sebagai OPD KB yang benar-benar mempunyai daya ungkit terhadap keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kalau selamanya BPMPKB hanya dijadikan alat transit dan sebagai labolatorium uji coba seseorang. Tanpa diberikan kesempatan orang itu membuktikan kinerjanya secara utuh dan kolektif. Maka akan muncul kekecewaan dari dalam internal organisasi BPMPKB. Terutama orang-orang senior yang ada di BPMPKB tidak diberikan kesempatan oleh Baperjakat menduduki Jabatan yang lebih baik di bandingkan dengan rekan-rekannya yang datang ke BPMPKB menadapat jabatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Harus disadari oleh para pemimpin dan para pemegang kebijakan bahwa setiap pegawai mempunyai harapan yang sama untuk lebih baik masa depannya. Makanya harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkiprah keluar masuk suatu organisasi. Kalau tidak maka kekecewaan staf itu akan mengganggu terhadap sikap pelayanan publik yang diharapkan dalam era global dan era informasi serta telekomuniasi yang serba cepat dan modern. Yang namanya pengabdian pasti harus diimbangi dengan harapan dan penghargaan yang seimbang agar terjadi kebersamaan dan ketangguhan oranisasi dalam melayani masyarakat. Kalau hanya mengandalkan prosedur, SMP, Hukum dan aturan pelyanan yang prima. Tanpa diimbangi dengan penghargaan yang semimbang maka pengabdian dan kesungguhan dalam bekerja akan sirna di tengah jalan. Hindari terjadinya konflikasi organisasi. Dari kulminasi kekecewan staf. Jangan mencampur adukan antara kepentingan kelompok dengan kepentingan kelembagaan atau tujuan tercapainya suatu TAPKIN SKPD.

JENIS-JENIS KONFLIK

Ada lima jenis konflik dalam kehidupan organisasi :

1. Konflik dalam diri individu Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
2. Konflik antar individu dalam organisasi yang sama karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.
3. Konflik antar individu dan kelompok seringkali berhubungan dengan cara individumenghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi.Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja.
5. Konflik antar organisasi konflik ini biasanya disebut dengan persaingan.

PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Penyelesaian  konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah sebagai berikut :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.

 2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.

 3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

 4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.

 5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.

Metode Penyelesaian Konflik
Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif.

Dominasi atau penekanan. Dominasi atau penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik.
2. Penenangan (smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis.
3. Penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas.
4. Aturan mayoritas (majority rule), mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil.

Kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak yang bertikai.

Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:

1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternative
6) Memilih alternative
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar

2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:

1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.

Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:

a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.

b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.

2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.

Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.

Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar